Maaf ya, Nak… Ayah Juga Lagi Belajar

Reflection Dad

Di ruang tengah yang lampunya agak redup, seorang ayah duduk sendirian. Di meja kecilnya ada cangkir kopi yang sudah dingin. Di kamarnya, anaknya sudah tidur, tapi rasa bersalah di dada ayah itu justru makin terasa saat malam datang. Bukan karena dia nggak sayang. Tapi karena dia tahu… akhir-akhir ini, sikapnya sering terasa dingin. Seringkali, kata-katanya terdengar keras. Padahal hatinya nggak pernah bermaksud seperti itu.

Ayah itu — sebut saja namanya Ardi — bukan ayah yang jahat. Dia kerja keras dari pagi sampai malam, berusaha memenuhi semua kebutuhan keluarga. Tapi kadang, saking lelahnya, dia jadi cepat marah. Jadi gampang ngomel. Bahkan untuk hal-hal kecil, yang sebenarnya nggak perlu dibesar-besarkan.

Dan yang bikin Ardi makin nyesek adalah saat dia mulai merasa… anaknya kayak makin jauh. Nggak cerita lagi seperti dulu. Nggak nyamperin lagi sambil bawa gambar-gambar coretan. Sekarang lebih sering diam di kamar. Mungkin karena takut dimarahi. Mungkin karena merasa nggak akan dimengerti.

Padahal, kalau boleh jujur, Ardi juga sedang berjuang. Bukan cuma soal pekerjaan, tapi juga tentang jadi orang tua yang baik. Kadang dia nggak tahu harus mulai dari mana minta maaf. Harus gimana caranya nunjukin rasa sayang tanpa bikin suasana jadi canggung. Dia tahu, anaknya butuh didengar. Tapi dirinya sendiri pun kadang belum sempat mendengar isi hatinya sendiri.

Itulah yang sering nggak kita sadari sebagai orang tua. Bahwa kita juga manusia. Kita juga bisa lelah. Kita juga bisa salah. Tapi sayangnya, yang sering jadi korban adalah anak-anak kita — yang mungkin belum bisa sepenuhnya paham kalau orang tuanya sedang kepayahan, bukan kejam.

Ardi akhirnya mulai pelan-pelan berubah. Dia mulai menyempatkan waktu sekadar tanya, “Kamu capek nggak hari ini?” atau duduk bareng nonton kartun walau sambil setengah ketiduran. Dia mulai belajar bilang “Maaf ya, tadi Ayah ngomongnya agak keras.” Kalimat sederhana, tapi ternyata dampaknya luar biasa. Anaknya mulai terbuka lagi. Mulai nyamperin lagi. Mulai cerita lagi.

Ternyata, kunci dari semua ini bukan jadi orang tua yang sempurna. Tapi jadi orang tua yang mau belajar. Yang mau turun ego, dan bilang “Ayah juga lagi belajar, Nak.”

Karena hubungan itu bukan tentang siapa yang paling benar. Tapi tentang siapa yang paling berani untuk berubah.

Jadi, kalau kamu pernah merasa bersalah karena sikapmu ke anak, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Pelan-pelan aja. Sempatkan waktu. Dengarkan tanpa buru-buru mengoreksi. Dan kalau perlu, peluk mereka sambil bilang…

“Maaf ya, Nak. Ayah juga lagi belajar.”