Lelah Seorang Ayah

·

grayscale photo of man sitting on dock

Pagi ini datang lagi — tanpa permisi, tanpa jeda.
Sama seperti kemarin, dan hari-hari sebelumnya.

Buat sebagian orang, pagi mungkin terasa segar, penuh harapan baru. Tapi buat seorang ayah, pagi seringkali terasa seperti kelanjutan dari hidup kemarin yang belum selesai. Masih ada lelah yang menempel, target yang belum tergaet, harapan yang terasa makin jauh, dan sisa-sisa semangat yang kadang compang-camping, terbanting di antara rutinitas.

Tapi meski begitu, ayah tetap melangkah.
Bukan karena dia nggak capek — tapi karena dia tahu, menyerah bukan pilihan.

Ada keluarga yang menunggunya pulang. Ada anak yang menanti untuk disapa. Ada istri yang berharap rumah tetap hangat walau badai di luar tak kunjung reda.

Ayah memilih melanjutkan hidup, bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena dia ingin memastikan orang-orang yang ia cintai bisa tetap baik-baik saja.

Kadang lelah seorang ayah nggak bisa diukur dari seberapa berat pekerjaannya, tapi dari seberapa banyak hal yang dia simpan sendiri. Dari seberapa sering dia menahan diri untuk nggak mengeluh, seberapa sering dia pura-pura kuat supaya keluarganya nggak ikut khawatir.

Dan lucunya, semua rasa itu perlahan sembuh — cuma dengan mendengar tawa anak dan istrinya di rumah.
Suara yang sederhana, tapi cukup untuk menghapus separuh luka yang tak pernah ia ceritakan.

Karena begitu sifat seorang ayah: diam-diam menanggung, pelan-pelan memperjuangkan, dan jarang sekali menuntut dipahami. Ia tidak butuh tepuk tangan, tidak perlu ucapan terima kasih. Cukup tahu bahwa keluarganya bahagia, dan semua lelahnya terbayar lunas di sana.

Selamat Hari Ayah.
Dari yang berisik,
untuk semua ayah yang diam-diam lelah tapi tetap melangkah.

Karena benar kata orang,

“Banyak yang lebih lelah, tapi tak seberisik kita.”

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *